ID/BG 7.15

Revision as of 01:34, 6 January 2018 by Gusti (talk | contribs) (Bhagavad-gita Compile Form edit)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Śrī Śrīmad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupāda


ŚLOKA 15

na māḿ duṣkṛtino mūḍhāḥ
prapadyante narādhamāḥ
māyayāpahṛta-jñānā
āsuraḿ bhāvam āśritāḥ

Sinonim

na—tidak; mām—kepadaKu; duṣkṛtinaḥ—orang jahat; mūḍhāḥ—bodoh; prapadyante—menyerahkan diri; nara-adhamāḥ—manusia yang paling rendah; māyayā—oleh tenaga yang mengkhayalkan; apahṛta—dicuri; jñānāḥ—pengetahuan; āsuram—jahat; bhāvam—sifat; aśritāh—menerima.

Terjemahan

Orang jahat yang bodoh secara kasar, manusia yang paling rendah, yang kehilangan pengetahuannya akibat khayalan, dan yang ikut dalam sifat orang jahat yang tidak percaya kepada Tuhan tidak menyerahkan diri kepadaKu.

Penjelasan

Dalam Bhagavad-gītā dinyatakan seseorang dapat mengatasi hukum-hukum alam material yang keras hanya dengan menyerahkan dirinya kepada kaki-padma Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang timbullah pertanyaan: Mengapa filosof-filosof yang terdidik, ahli-ahli ilmu pengetahuan, pengusaha, administrator dan semua pemimpin manusia biasa tidak menyerahkan diri kepada kaki-padma Śrī Kṛṣṇa, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa dan Mahaperkasa? Mukti, atau pembebasan dari hukum-hukum alam material dicari oleh para pemimpin manusia dengan berbagai cara serta rencana-rencana besar dan ketekunan selama bertahun-tahun dan selama banyak penjelmaan. Tetapi kalau pembebasan itu dimungkinkan hanya dengan menyerahkan diri kepada kaki-padma Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, mengapa pemimpin-pemimpin yang cerdas dan bekerja keras seperti itu tidak mengikuti cara yang sederhana tersebut?

Pertanyaan ini dijawab secara gamblang dalam Bhagavad-gītā. Pemimpin-pemimpin masyarakat yang sungguh-sungguh bijaksana seperti Brahmā, Śiva, Kapila, para Kumāra, Manu, Vyāsa, Devala, Asita, Janaka, Prahlāda, Bali, kemudian Madhvācārya, Rāmānujācārya, Śrī Caitanya dan banyak lagi yang lainnya adalah filosof-filosof, tokoh-tokoh politik, pendidik, ahli ilmu pengetahuan dan sebagainya, yang setia—menyerahkan diri kepada kaki-padma Kepribadian Tuhan Yang Paling Utama, Penguasa Yang Mahakuasa. Orang yang sebenarnya bukan filosof, ahli ilmu pengetahuan, pendidik, administrator, dan sebagainya, tetapi hanya menyamar seperti itu demi keuntungan material, tidak mengakui rencana maupun jalan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tidak mengerti tentang Tuhan sama sekali; mereka semata-mata membuat rencana-rencana duniawi sendiri, dan sebagai akibatnya merumitkan masalah-masalah kehidupan material dalam usaha-usahanya yang sia-sia untuk memecahkan masalah-masalah itu. Tenaga material (alam) sangat perkasa sehingga dapat menahan rencana-rencana yang tidak dibenarkan yang dibuat oleh orang yang tidak percaya kepada Tuhan, dan juga menggagalkan pengetahuan dari "komisi-komisi perencanaan".

Para perencana yang tidak percaya kepada Tuhan diuraikan di sini dengan kata duṣkṛtinaḥ, yang berarti "orang jahat." Kṛtī berarti orang yang sudah melakukan pekerjaan yang terpuji. Para perencana yang tidak percaya kepada Tuhan juga kadang-kadang sangat cerdas dan terpuji, sebab rencana besar manapun, baik maupun buruk, memerlukan kecerdasan untuk pelaksanaannya. Tetapi oleh karena otak orang yang tidak percaya kepada Tuhan disalah-gunakan untuk melawan rencana Tuhan Yang Maha Esa, para perencana yang tidak percaya kepada Tuhan disebut duṣkṛtī, yang berarti kecerdasan dan usaha-usahanya diarahkan ke tujuan yang salah.

Dalam Bhagavad-gītā disebutkan dengan jelas bahwa tenaga material bekerja sepenuhnya di bawah perintah Tuhan Yang Maha Esa. Alam tidak mempunyai kekuasaan tersendiri. Alam bekerja seperti bayangan, menurut gerak suatu benda. Tetapi tenaga material tetap sangat perkasa, sehingga orang yang tidak percaya kepada Tuhan tidak dapat mengetahui bagaimana cara tenaga material bekerja. Dia juga tidak dapat mengetahui rencana Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan berada dalam khayalan dan dipengaruhi oleh sifat-sifat nafsu dan kebodohan, sehingga semua rencana-rencananya digagalkan, seperti yang terjadi terhadap Hiraṇyakaśipu dan Rāvaṇa. Rencana-rencana kedua raksasa itu digagalkan walaupun kedua-duanya sangat ahli secara material sebagai ahli-ahli ilmu pengetahuan, filosof, administrator dan ahli pendidikan. Para duṣkṛtina,atau orang jahat, seperti itu digolongkan menurut empat pola, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

(1) Para mūḍha adalah orang bodoh secara kasar, seperti hewan yang bekerja keras untuk memikul beban. Mereka ingin menikmati hasil pekerjaannya untuk diri sendiri. Karena itu, mereka tidak mau menyerahkan hasil pekerjaannya untuk Yang Mahakuasa. Contoh hewan yang memikul beban ialah keledai. Hewan yang rendah ini dipaksakan bekerja dengan keras sekali oleh tuannya. Keledai sebenarnya tidak mengetahui untuk siapa ia bekerja dengan begitu keras siang dan malam hari. Dia tetap puas mengisi perutnya dengan seikat rumput, tidur sebentar sambil merasa takut bahwa ia akan dipukul oleh tuannya, dan memuaskan hawa nafsunya dengan resiko bahwa badannya ditendang berulangkali oleh keledai betina. Keledai menyanyikan sanjak dan kadang-kadang filsafat, tetapi suara itu hanya mengganggu orang lain. Inilah kedudukan orang bodoh yang bekerja dengan tujuan mendapat hasil untuk dinikmati tetapi tidak mengetahui untuk siapa ia harus bekerja. Ia tidak mengetahui bahwa karma (perbuatan) dimaksudkan untuk yajñā (korban suci).

Seringkali orang yang bekerja keras siang dan malam untuk membereskan beban tugas-tugas yang diciptakan oleh dirinya sendiri mengatakan bahwa mereka tidak punya waktu untuk mendengar tentang kekekalan makhluk hidup. Keuntungan material, yang dapat dimusnahkan, adalah segala-galanya dalam kehidupan para mūḍha—walaupun kenyataannya para mūḍha itu hanya menikmati sebagian kecil dari hasil pekerjaannya. Kadang-kadang mereka begadang selama berhari-hari untuk mencari keuntungan atau hasil, dan walaupun kadang-kadang mereka sakit maag atau tidak dapat mencerna makanan, mereka puas dengan hampir tidak makan sama sekali. Mereka hanya sibuk bekerja keras siang dan malam demi keuntungan majikan-majikan yang bersifat khayalan. Mereka tidak mengetahui tentang atasannya yang sejati; karena itu, mereka bekerja untuk memboroskan waktunya yang sangat berharga dalam melayani dewa kekayaan. Sayang sekali, mereka tidak pernah menyerahkan diri kepada atasan segala atasan. Mereka juga tidak mengambil waktu untuk mendengar tentang Beliau dari sumber-sumber yang benar. Babi yang memakan kotoran tidak suka menerima manisan terbuat dari gula dan mentega. Begitu pula, pekerja yang bodoh tidak pernah bosan terus-menerus mendengar berita yang dapat dinikmati oleh indria-indria tentang dunia material yang berkedip-kedip, namun sedikit sekali waktunya untuk mendengar tentang daya hidup yang kekal yang menggerakkan dunia material.