ID/BG 16.1-3

Śrī Śrīmad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupāda


ŚLOKA-ŚLOKA 1-3

श्रीभगवानुवाच ।
अभयं सत्त्वसंशुद्धिर्ज्ञानयोगव्यवस्थितिः ।
दानं दमश्च यज्ञश्च स्वाध्यायस्तप आर्जवम् ॥१॥
अहिंसा सत्यमक्रोधस्त्यागः शान्तिरपैशुनम् ।
दया भूतेष्वलोलुप्त्वं मार्दवं ह्रीरचापलम् ॥२॥
तेजः क्षमा धृतिः शौचमद्रोहो नातिमानिता ।
भवन्ति सम्पदं दैवीमभिजातस्य भारत ॥३॥
śrī-bhagavān uvāca
abhayaḿ sattva-saḿśuddhir
jñāna-yoga-vyavasthitiḥ
dānaḿ damaś ca yajñaś ca
svādhyāyas tapa ārjavam
ahiḿsā satyam akrodhas
tyāgaḥ śāntir apaiśunam
dayā bhūteṣv aloluptvaḿ
mārdavaḿ hrīr acāpalam
tejaḥ kṣamā dhṛtiḥ śaucam
adroho nāti-mānitā
bhavānti sampadaḿ daivīm
abhijātasya bhārata

Sinonim

śrī-bhagavān uvāca—Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; abhayam—kebebasan dari rasaan takut; sattva-saḿśuddhiḥ—penyucian kehidupan; jñāna—dalam pengetahuan; yoga—tentang hubungan; vyavasthitiḥ—keadaan; dānam—kedermawanan; damaḥ—mengendalikan pikiran; ca—dan; yajñaḥ—pelaksanaan korban suci; ca—dan; svādhyāyaḥ—mempelajari tentang kesusasteraan Veda; tapaḥ—pertapaan; ārjavam—kesederhanaan; ahiḿsā—tidak melakukan kekerasan; satyam—kejujuran; akrodhaḥ—kebebasan dari amarah; tyāgaḥ—pelepasan ikatan; śāntiḥ—ketenangan; apaiśunam—tidak mencari-cari kesalahan; dayā—karunia; bhūteṣu—terhadap semua makhluk hidup; aloluptvām—kebebasan dari loba; mārdavam—sifat lembut; hrīḥ—sifat sopan dan rendah hati; acāpalam—ketabahan hati; tejaḥ—sifat giat; kṣamā—sifat mengampuni; dhṛtiḥ—sifat ulet; śaucam—kebersihan; adrohaḥ—kebebasan dari rasa iri; na—tidak; ati-mānitā—mengharapkan penghormatan; bhavānti—adalah; sampadam—sifat-sifat; daivīm—sifat rohani; abhijātasya—milik orang yang dilahirkan dari; bhārata—wahai putera Bhārata.

Terjemahan

Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda: Kebebasan dari rasa takut; penyucian kehidupan; pengembangan pengetahuan rohani; kedermawanan; mengendalikan diri; pelaksanaan korban suci; mempelajari Veda; pertapaan; kesederhanaan; tidak melakukan kekerasan; kejujuran; kebebasan dari amarah; pelepasan ikatan; ketenangan; tidak mencaricari kesalahan; kasih sayang terhadap semua makhluk hidup; pembebasan dari loba; sifat lembut; sifat malu; ketabahan hati yang mantap; kekuatan; mudah mengampuni; sifat ulet; kebersihan; kebebasan dari rasa iri dan gila hormat—sifat-sifat rohani tersebut dimiliki oleh orang suci yang diberkati dengan sifat rohani, wahai putera Bhārata

Penjelasan

Pada Awal Bab Lima Belas, pohon beringin dunia material ini dijelaskan. Akar-akar tambahan yang keluar dari pohon itu diumpamakan sebagai kegiatan para makhluk hidup. Beberapa di antara kegiatan itu menguntungkan, dan beberapa di antaranya tidak menguntungkan. Dalam Bab Sembilan juga dijelaskan tentang para dewa, atau tujuan-tujuan yang suci, dan para asura, atau tujuan-tujuan yang jahat dan tidak suci, atau raksasa. Menurut upacara-upacara Veda, kegiatan dalam sifat kebaikan menguntungkan demi kemajuan dalam menempuh jalan pembebasan, dan kegiatan seperti itu terkenal sebagai daivī prakṛti, atau kegiatan yang bersifat rohani. Orang yang mantap dalam sifat rohani maju menempuh jalan pembebasan. Di pihak lain, orang yang bertindak dalam sifat-sifat nafsu dan kebodohan tidak mungkin mencapai pembebasan. Mereka harus tetap tinggal di dunia material ini sebagai manusia, atau mereka akan merosot hingga dilahirkan sebagai jenis-jenis binatang atau jenis-jenis kehidupan yang lebih rendah. Dalam Bab Enam belas ini, Tuhan Yang Maha Esa menjelaskan sifat rohani dan sifat jahat masing-masing dengan cirinya. Beliau juga menjelaskan manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian sifat itu.

Kata abhijātasya berhubungan dengan orang yang dilahirkan dari sifat-sifat rohani atau Kecenderungan-kecenderungan suci sangat bermakna. Mendapatkan anak dalam suasana kesucian disebut Garbhādhāna-saṁskāra dalam Kitab-kitab Veda. Kalau ayah dan ibu menginginkan anak yang memiliki sifat-sifat kesucian, hendaknya mereka mengikuti sepuluh prinsip yang dianjurkan untuk kehidupan masyarakat manusia. Dalam Bhagavad-gītā kita juga sudah mempelajari bahwa hubungan suami isteri untuk mendapat anak yang baik adalah Kṛṣṇa Sendiri. Hubungan suami isteri tidak disalahkan asal proses itu digunakan dalam kesadaran Kṛṣṇa. Orang yang sadar akan Kṛṣṇa sekurang-kurangnya jangan berketurunan seperti anjing dan kucing, melainkan berketurunan supaya anaknya dapat menjadi sadar akan Kṛṣṇa sesudah ia dilahirkan. Seharusnya itulah keuntungan anak-anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang tekun dalam kesadaran Kṛṣṇa.

Lembaga masyarakat yang bernama varṇāśrama-dharma—lembaga itu yang membagi masyarakat menjadi empat golongan kehidupan dan empat golongan pencaharian—tidak dimaksudkan untuk membagi masyarakat manusia menurut kelahiran. Bagian-bagian tersebut menurut kwalifikasi pendidikan, dan dimaksudkan untuk memelihara masyarakat dalam keadaan damai dan makmur. Sifat-sifat yang disebut di sini dijelaskan sebagai sifat-sifat rohani yang dimaksudkan supaya seseorang maju dalam pengertian rohani dan dapat mencapai pembebasan dari dunia material.

Dalam lembaga varṇāśrama, seorang sannyāsī, atau orang yang sudah mencapai tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan dianggap pemimpin atau guru kerohanian bagi semua tingkat dan semua golongan masyarakat. Seorang brāhmaṇa dianggap guru kerohanian bagi tiga golongan masyarakat lainnya, yaitu para kṣatriya, vaiśya dan śūdra, tetapi seorang sannyāsī, yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam lembaga tersebut, juga dianggap sebagai guru kerohanian para brāhmaṇa. Bagi seorang sannyāsī, kwalifikasi pertama yang dibutuhkan ialah bebas dari rasa takut. Oleh karena seorang sannyāsī harus tinggal sendirian tanpa dukungan atau jaminan hidup apa pun, ia harus bergantung kepada karunia Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Kalau seseorang berpikir, "Sesudah saya meninggalkan hubungan-hubungan saya, siapa yang akan melindungi saya?" Seharusnya ia tidak memasuki golongan hidup untuk meninggalkan hal-hal duniawi. Hendaknya seseorang yakin sepenuhnya bahwa Kṛṣṇa atau Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya di tempat-tempat khusus sebagai Paramātmā selalu bersemayam di hati, bahwa Beliau melihat segala sesuatu dan bahwa Beliau selalu mengetahui apa yang ingin dilakukan seseorang. Seperti itulah seseorang harus yakin dengan teguh bahwa Kṛṣṇa sebagai Paramātmā akan menjaga kesejahteraan roh yang sudah menyerahkan diri kepada Beliau. Sebaiknya seseorang berpikir, "Saya tidak akan pernah sendirian. Meskipun saya tinggal di daerah yang paling gelap di tengah hutan saya pasti ditemani oleh Kṛṣṇa, dan Kṛṣṇa akan memberi segala perlindungan kepada saya." Keyakinan itu disebut abhayam, atau kebebasan dari rasa takut. Keadaan jiwa tersebut dibutuhkan pada tingkatan hidup yang meninggalkan ikatan hal-hal duniawi.

Kemudian ia harus menyucikan kehidupannya. Ada banyak aturan dan peraturan untuk diikuti pada tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan terhadap hal-hal duniawi. Yang paling penting, seorang sannyāsī dilarang keras mempunyai hubungan dekat dengan seorang wanita. Seorang sannyāsī dilarang berbicara dengan seorang wanita di tempat yang sepi. Śrī Caitanya adalah seorang sannyāsī yang teladan, dan pada waktu tinggal di Puri, para penyembahNya yang wanita tidak boleh mendekati Beliau bahkan untuk bersujud sekalipun. Dianjurkan supaya mereka bersujud dari tempat yang jauh. Ini bukan tanda rasa benci terhadap kaum wanita, melainkan peraturan yang dikenakan pada seorang sannyāsī supaya dia jangan memelihara hubungan erat dengan wanita. Seseorang harus mengikuti aturan dan peraturan tingkat hidup tertentu untuk menyucikan kehidupannya. Hubungan erat dengan wanita dan memiliki kekayaan demi kepuasan indria-indria dilarang keras bagi seorang sannyāsī. Sannyāsī yang teladan adalah Śrī Caitanya Sendiri, dan kita dapat belajar dari riwayat Beliau bahwa Beliau selalu tegas sekali dalam soal hubungan dengan wanita. Walaupun Śrī Caitanya adalah penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling murah hati, dan Beliau menerima roh-roh yang paling jatuh sekalipun, Beliau mematuhi aturan dan peraturan tingkatan hidup sannyāsa dengan tegas sekali dalam soal wanita. Salah seorang rekan pribadi Śrī Caitanya yang bernama Choṭa Haridāsa bergaul dengan Śrī Caitanya bersama dengan rekan-rekan pribadi lainnya yang dekat pada Beliau, tetapi entah bagaimana Choṭa Haridāsa ini memandang seorang wanita yang masih muda dengan sikap hawa nafsu. Śrī Caitanya begitu tegas sehingga Beliau segera menolak Choṭa Haridāsa dari pergaulan rekan-rekan pribadiNya. Śrī Caitanya bersabda, "Bagi seorang sannyāsī atau siapapun yang bercita-cita keluar dari cengkeraman alam material dan sedang berusaha mengangkat diri sampai alam rohani hingga pulang, kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, memandang harta benda material dan wanita demi kepuasan indria-indria—jangankan menikmatinya, tetapi hanya memandang dengan kecenderungan seperti itu—sangat disalahkan sehingga mengalami keinginan yang tidak sah seperti itu lebih buruk dari pada bunuh diri." Proses tersebut adalah proses-proses penyucian diri.

Unsur berikutnya ialah jñāna-yoga-vyavasthiti: menekuni pengembangan pengetahuan. Kehidupan sannyāsī dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan kepada orang berumah tangga dan orang lain yang sudah melupakan kehidupan kemajuan rohaninya yang sejati. Seharusnya seorang sannyāsī mengemis dari rumah ke rumah untuk pencahariannya, tetapi ini bukan berarti bahwa dia pengemis. Sifat rendah hati juga salah satu kwalifikasi orang yang mantap secara rohani. Karena sifat rendah hati saja seorang sannyāsī pergi dari rumah ke rumah, bukan dengan tujuan mengemis, melainkan dengan tujuan bertemu dengan orang yang berumah tangga dan menyadarkan mereka hingga sadar akan Kṛṣṇa. Inilah kewajiban seorang sannyāsī. Kalau seorang sannyāsī sungguh-sungguh maju dan sudah diperintahkan demikian oleh guru kerohaniannya, dia harus mengajarkan kesadaran Kṛṣṇa dengan logika dan pengertian, dan kalau seseorang belum begitu maju, sebaiknya ia jangan menerima tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan terhadap hal-hal duniawi seperti itu. Tetapi meskipun seseorang sudah menerima tingkatan hidup untuk melepaskan ikatan hal-hal duniawi tanpa memiliki pengetahuan secukupnya, sebaiknya ia tekun sepenuhnya mendengar dari seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya untuk mengembangkan pengetahuannya. Seorang sannyāsī atau orang yang sudah mencapai tingkatan hidup untuk meninggalkan ikatan terhadap hal-hal duniawi harus mantap dalam kebebasan dari rasa takut, sattva-saṁśuddhi (kesucian) dan jñāna-yoga (pengetahuan).

Unsur berikutnya ialah kedermawanan. Kedermawanan dimaksudkan untuk orang yang berumah tangga. Orang yang berumah tangga hendaknya mencari nafkah dengan cara yang halal dan mengeluarkan lima puluh persen dari pendapatannya untuk mengajarkan kesadaran Kṛṣṇa di seluruh dunia. Jadi, orang yang berumah tangga sebaiknya memberi sumbangan kepada perkumpulan-perkumpulan dan lembaga-lembaga yang sibuk di bidang itu. Sebaiknya sumbangan diberikan kepada orang yang patut menerimanya. Ada berbagai jenis kedermawanan, sebagai mana akan dijelaskan dalam Bab Tujuh belas—kedermawanan dalam sifat-sifat kebaikan, nafsu, dan kebodohan. Kedermawanan dalam sifat kebaikan dianjurkan dalam Kitab Suci, tetapi kedermawanan dalam sifat-sifat nafsu dan kebodohan tidak dianjurkan, sebab itu hanya memboroskan uang. Sebaiknya sumbangan diberikan untuk mengembangkan kesadaran Kṛṣṇa diseluruh dunia. Itulah kedermawanan dalam sifat kebaikan.

Mengenai dama (mengendalikan diri) itu tidak hanya dimaksudkan untuk golongan-golongan lain dalam masyarakat beragama, tetapi khususnya dimaksudkan untuk orang yang berumah tangga. Walaupun suami isteri yang sah, sebaiknya juga jangan menggunakan indrianya untuk hubungan badan yang tidak diperlukan. Ada aturan untuk orang yang berumah tangga, bahkan dalam hubungan badan sekalipun. Hubungan suami isteri sebaiknya hanya digunakan untuk memiliki dan memelihara anak. Kalau dia tidak ingin mendapatkan anak, sebaiknya dia menghindari menikmati hubungan badan tersebut. Masyarakat modern menikmati hubungan itu dengan cara-cara pencegahan kehamilan atau pun dengan cara yang lebih jahat dari pada itu hanya untuk melepaskan tanggung jawab. Ini bukan sifat rohani, melainkan sifat yang kurang baik. Kalau seseorang, termasuk pula orang yang berumah tangga, ingin maju dalam kehidupan rohani, dia harus mengendalikan hubungan suami isteri dan jangan mendapatkan anak tanpa tujuan mengabdikan diri kepada Kṛṣṇa. Jika ia dapat berketurunan dan memiliki anak yang sadar akan Kṛṣṇa, ia boleh mempunyai beberapa anak, tetapi jika tidak sanggup seperti itu, sebaiknya ia jangan menikmati hubungan suami isteri hanya demi kesenangan indria-indria saja.

Korban suci adalah unsur lain untuk dilaksanakan oleh orang yang berumah tangga, sebab korban suci membutuhkan jumlah dana yang besar. Dari golongan kehidupan lainnya, yaitu brahmacarya, vānaprastha dan sannyāsa, tidak mempunyai uang; mereka hidup dengan cara mengemis. Karena itu, pelaksanaan berbagai jenis korban suci dimaksudkan untuk orang yang berumah tangga. Sebaiknya mereka melakukan korban-korban suci agni-hotra sebagaimana dianjurkan dalam kesusasteraan Veda. Tetapi saat ini korban-korban suci seperti itu memerlukan biaya yang besar sekali, dan tidak mungkin semua orang yang berumah tangga melaksanakan upacara-upacara seperti itu. Korban suci yang paling baik yang dianjurkan pada jaman ini disebut saṅkīrtana-yajña. Saṅkīrtana-yajña, atau cara mengucapkan mantra Hare Kṛṣṇa, Hare Kṛṣṇa, Kṛṣṇa Kṛṣṇa, Hare Hare/ Hare Rāma, Hare Rāma, Rāma Rāma, Hare Hare, adalah korban suci yang paling baik dan paling murah; siapa pun dapat melakukan dan memperoleh manfaatnya. Jadi, tiga unsur, yakni kedermawanan, pengendalian indria-indria dan pelaksanaan korban suci dimaksudkan untuk orang yang berumah tangga.

Kemudian svādhyāya, atau mempelajari Veda, dimaksudkan untuk brahmacarya, atau kehidupan sebagai siswa. Sebaiknya para brahmacāri tidak mempunyai hubungan apapun dengan wanita; mereka harus hidup dengan berpantang hubungan dengan wanita dan menekuni pelajaran khusus tentang kesusasteraan Veda untuk mengembangkan pengetahuan rohani. Ini disebut svādhyāya.

Tapas, atau pertapaan, khususnya untuk orang yang sudah mengendurkan diri dari kehidupan duniawi. Hendaknya seseorang jangan tetap berumah tangga sampai tutup usia; ia harus ingat ada empat bagian dalam kehidupan—brahmacarya, gṛhastha, vānaprastha dan sannyāsa. Karena itu sesudah gṛhastha, atau kehidupan berumah tangga, sebaiknya seseorang mengundurkan diri. Kalau seseorang hidup sampai berusia seratus tahun, sebaiknya dia sebagai siswa selama dua puluh lima tahun, dua puluh lima tahun hidup berumah tangga, dan dua puluh lima tahun dalam hidup mengundurkan diri, dan dua puluh lima tahun pada tingkatan hidup untuk meninggalkan ikatan terhadap hal-hal duniawi. Inilah peraturan disiplin keagamaan dari Veda. Orang yang sudah mengundurkan diri dari kehidupan berumah tangga harus mempraktekkan pertapaan dengan badan, pikiran, dan lidah. Itulah tapasya. Seluruh masyarakat varṇāśrama-dharma dimaksudkan untuk tapasya. Tanpa tapaśya atau pertapaan, seorang manusia tidak dapat mencapai pembebasan. Teori bahwa pertapaan tidak diperlukan dalam kehidupan, yaitu bahwa seseorang dapat berangan-angan terus dan segala sesuatu akan menjadi baik-baik saja, tidak dianjurkan baik dalam kesusasteraan Veda maupun dalam Bhagavad-gītā. Teori-teori seperti itu dibuat-buat oleh rohaniwan gadungan yang sedang berusaha mengumpulkan pengikut semakin banyak. Kalau ada pantangan, aturan dan peraturan, orang tidak akan tertarik. Karena itu, orang yang ingin mencari pengikut atas nama kegiatan keagamaan hanya untuk pamer saja tidak mengatur kehidupan para siswanya, maupun kehidupan pribadinya. Tetapi cara itu tidak dibenarkan dalam Veda.

Mengenai kesederhanaan, yang dimiliki oleh para brāhmaṇa, hendaknya bukan hanya golongan tertentu yang mengikuti prinsip ini, melainkan semua anggota masyarakat, baik dari brahmacārī āśrama, gṛhastha āśrama, vānaprastha āśrama maupun sannyāsa āśrama. Sebaiknya semua orang sangat sederhana dan transparan.

Ahiṁsā berarti tidak menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup manapun yang maju dari salah satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan yang lain. Sebaiknya seseorang jangan berpikir bahwa oleh karena bunga api rohani atau sang roh tidak pernah terbunuh, bahkan sesudah badan terbunuh tiada salahnya ia membunuh binatang demi kepuasan indria-indria. Saat ini orang kecanduan memakan binatang, walaupun ada persediaan biji-bijian, padi-padian, buah-buahan, dan susu secukupnya. Binatang tidak perlu dibunuh. Inilah peraturan bagi semua orang. Bila tidak ada pilihan lain, seseorang boleh membunuh binatang, tetapi binatang itu hendaknya dipersembahkan sebagai korban suci. Tetapi bagaimanapun, bila ada persediaan pangan secukupnya untuk masyarakat manusia, orang yang bercita-cita maju dalam keinsafan rohani sebaiknya jangan melakukan kekerasan terhadap binatang. Ahiṁsā yang sejati berarti tidak menghalang-halangi kemajuan siapa pun dalam kehidupan. Binatang pun sedang maju dalam kehidupan evolusinya dengan berpindah-pindah dari satu golongan kehidupan binatang ke golongan hidup lainnya. Kalau binatang dibunuh, maka kemajuannya terhambat. Kalau binatang sedang hidup dalam badan tertentu selama sekian hari atau sekian tahun, lalu ia dibunuh sebelum ia mati sendiri, maka dia harus kembali lagi dalam bentuk kehidupan itu untuk menyelesaikan sisa waktu sebelum ia dapat diangkat memasuki jenis kehidupan yang lain. Karena itu, hendaknya kemajuan binatang jangan dihambat hanya untuk memuaskan lidah seseorang. Itu disebut ahiḿsā.

Satyam. Kata ini berarti hendaknya seseorang jangan memutarbalikkan kebenaran demi kepentingan pribadi. Dalam kesusasteraan Veda ada beberapa ayat yang sulit dipahami, tetapi arti atau maksud ayat-ayat itu hendaknya dipelajari dari seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya. Itulah proses untuk mengerti Veda. Śruti berarti sebaiknya seseorang mendengar dari sumber yang dapat dipercaya. Hendaknya seseorang jangan menafsirkan arti tertentu demi kepentingan pribadinya. Ada banyak tafsiran Bhagavad-gītā yang menyalah tafsirkan teks yang asli. Arti sejati sebuah kata hendaknya disampaikan, dan arti kata itu sebaiknya dipelajari dari seorang guru kerohanian yang dapat dipercaya.

Akrodha berarti mengendalikan amarah. Walaupun seseorang digoda, hendaknya dia bersikap toleransi, sebab begitu seseorang menjadi marah, seluruh badannya dicemari. Amarah adalah akibat sifat nafsu dan birahi, karena itu orang yang mantap dalam kerohanian sebaiknya mengendalikan diri supaya tidak menjadi marah. Apaiśunam berarti sebaiknya seseorang jangan mencari-cari kesalahan orang lain atau menegur mereka kalau itu tidak diperlukan. Tentunya kalau seorang pencuri dijuluki pencuri itu tidak berarti mencari-cari kesalahan, tetapi kalau orang jujur disebut pencuri, maka itu merupakan kesalahan yang besar sekali bagi orang yang ingin maju dalam kehidupan rohani. Hri berarti hendaknya seseorang bersikap sopan dan rendah hati dan jangan melakukan perbuatan yang jijik. Acāpalam, atau ketabahan hati, berarti hendaknya seseorang jangan goyah dan merasa frustrasi dalam suatu usaha. Barangkali dia gagal dalam suatu usaha, tetapi hendaknya dia jangan menyesal karena itu. Sebaiknya dia berusaha maju dengan kesabaran dan ketabahan hati.

Kata tejas yang digunakan di sini dimaksudkan untuk para kṣatriya. Para kṣatriya harus selalu kuat sekali supaya dapat memberi perlindungan kepada orang yang lemah. Hendaknya mereka jangan pura-pura tidak melakukan kekerasan. Kalau kekerasan diperlukan, mereka harus memperlihatkan kekerasan. Tetapi orang yang sanggup menaklukkan musuhnya boleh memberi pengampunan dalam keadaan-keadaan tertentu. Dia dapat memaafkan kesalahan-kesalahan kecil.

Śaucam berarti kebersihan, bukan hanya dalam pikiran dan badan, tetapi juga dalam tingkah laku. Ini khususnya dimaksudkan untuk masyarakat pedagang. Hendaknya mereka jangan berdagang di pasar gelap. Nāti-mānitā, atau tidak mengharapkan penghormatan, berlaku bagi para śūdra, atau golongan buruh, yang dianggap golongan paling rendah di antara empat golongan menurut aturan Veda. Sebaiknya mereka jangan sombong dengan kemasyhuran atau penghormatan yang tidak diperlukan dan hendaknya tetap dalam status mereka sendiri. Kewajiban para śūdra ialah menghormati golongan yang lebih tinggi untuk memelihara ketertiban masyarakat.

Dua puluh enam kwalifikasi tersebut di atas semua sifat-sifat rohani. Sifat-sifat itu sebaiknya dikembangkan menurut berbagai tingkat susunan masyarakat dan pencaharian. Arti ayat ini ialah bahwa meskipun keadaan-keadaan material penuh kesengsaraan, kalau sifat-sifat tersebut dikembangkan dengan latihan oleh segala golongan manusia, maka berangsur-angsur dimungkinkan seseorang naik tingkat sampai tingkat keinsafan rohani yang tertinggi.