ID/BG Menjelang Perang Di Kurukṣetra

Śrī Śrīmad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupāda




Sebagaimana dijelaskan dalam Bab Empat, ayat satu, Bhagavad-gītā semula disabdakan kepada dewa matahari, Vivasvān, oleh Śrī Kṛṣṇa lebih dari 120 juta tahun yang lalu. Sesudah itu, Bhagavad-gītā turun temurun melalui garis perguruan raja-raja yang suci. Bhagavad-gītā sudah dikenal dalam masyarakat manusia sejak masa Mahārāja Ikṣvāku 2 juta tahun yang lalu. Bhagavad-gītā sering diterbitkan dan dibaca sebagai sastra tersendiri, namun Bhagavad-gītā juga tercantum sebagai satu babak dalam karya epos sejarah Mahābhārata, sejarah dunia pada masa lampau dalam bahasa Sansekerta. Mahābhārata membicarakan kejadian-kejadian menjelang jaman Kali. Pada awal jaman ini, kurang lebih 50 abad yang silam, Śrī Kṛṣṇa menyabdakan Bhagavad-gītā kepada Arjuna sebagai kawan dan penyembahNya.

Percakapan antara Kṛṣṇa dengan Arjuna—salah satu di antara dialog-dialog filsafat dan kerohanian yang paling mulia dalam masyarakat manusia—terjadi sebelum perang saudara yang berkecamuk hebat antara seratus putera Dhṛtarāṣṭra dengan saudara-saudara misannya, para Pāṇḍava, atau para putera Pāṇḍu.

Dhṛtarāṣṭra dan Pāṇḍu adalah kakak beradik yang dilahirkan dalam dinasti Kuru, keturunan Raja Bharata, seorang raja yang pernah berkuasa di bumi ini. Nama Mahābhārata diambil dari nama Raja Bharata itu. Oleh karena Dhṛtarāṣtra, kakak Pāṇḍu, tunanetra sejak lahir, Pāṇḍulah yang dinobatkan menjadi raja.

Pāṇḍu meninggal dunia dalam usia muda. Kelima putera Pāṇḍu—Yudhiṣṭhira, Bhīma, Arjuna, Nakula, dan Sahadeva—dibesarkan oleh Dhṛtarāṣṭra. Dhṛtarāṣṭra menjadi pejabat raja untuk sementara waktu. Putera-putera Dhṛtarāṣṭra dan putera-putera Pāṇḍu dibesarkan dalam istana kerajaan yang sama. Mereka dilatih dalam ilmu militer oleh Guru Droṇa dan dibimbing oleh “kakek” keluarga besar Kuru yang sangat dihormati, yaitu Bhīṣma. Namun para putera Dhṛtarāṣṭra, terutama putera sulungnya, Duryodhana, sangat benci dan iri hati terhadap para Pāṇḍava. Dhṛtarāṣṭra buta dan berjiwa jahat. Dhṛtarāṣṭra menginginkan putera-puteranya sendiri yang mewarisi kerajaan, bukan para putera Pāṇḍu.

Karena itu, seizin Dhṛtarāṣṭra, Duryodhana menyusun siasat untuk membunuh para putera Pāṇḍu yang masih muda. Hanya karena perlindungan yang seksama dari Paman Vidura dan saudara misan para Pāṇḍava, Śrī Kṛṣṇa mereka selamat, meskipun nyawanya terancam berkali-kali. Śrī Kṛṣṇa bukan manusia biasa, Śrī Kṛṣṇa adalah Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Sendiri, yang telah menjelma di bumi ini dan sedang berperan sebagai pangeran dalam salah satu dinasti. Dalam peran ini, Kṛṣṇa juga merupakan keponakan Kuntī atau Pṛthā, isteri Pāṇḍu, ibu para Pāṇḍava. Sebagai sanak keluarga dan sebagai penegak prinsip-prinsip dharma yang kekal, Kṛṣṇa memberkahi dan melindungi para putera Pāṇḍu yang saleh.

Akan tetapi, akhirnya Duryodhana yang sangat licik mengajak para Pāṇḍava bermain judi. Dalam kejadian perjudian yang mengakibatkan nasib yang sangat buruk itu, Duryodhana dan saudara-saudaranya mengambil Draupadī, isteri para Pāṇḍava yang sangat suci dan setia. Duryodhana beserta kawan-kawannya berusaha menghina Draupadī dengan cara membuka pakaian Draupadī di hadapan sidang pangeran-pangeran dan raja-raja. Kṛṣṇa turun tangan secara rohani hingga Draupadī selamat, tetapi permainan dadu, yang sudah diatur dengan cara yang tidak adil, mengakibatkan para Pāṇḍava tertipu hingga kehilangan kerajaannya dan terpaksa diasingkan ke hutan selama tiga belas tahun.

Sesudah para Pāṇḍava kembali dari masa pengasingannya, menurut hak yang sah mereka meminta supaya kerajaannya dikembalikan oleh Duryodhana, namun Duryodhana menolak mentah-mentah mengembalikan kerajaan itu. Sebagai pangeran-pangeran, para Pāṇḍava wajib mengabdikan diri dalam administrasi negara. Karena itu, para Pāṇḍava meminta agar diberikan lima desa saja oleh Duryodhana. Namun Duryodhana sombong dan menjawab bahwa dia tidak akan memberikan tanah seluas ujung jarumpun kepada para Pāṇḍava.

Selama ini, para Pāṇḍava terus bersikap toleransi dan sabar. Tetapi sekarang tampaknya perang tidak dapat dihindarkan lagi.

Para pangeran dan raja dunia terpecah menjadi dua kelompok. Beberapa di antaranya memihak putera-putera Dhṛtarāṣṭra, sedangkan yang lain ikut para Pāṇḍava. Selama ini, Kṛṣṇa Sendiri berperan sebagai duta untuk para putera Pāṇḍu dan pergi ke istana Dhṛtarāṣṭra dengan usul perdamaian. Akan tetapi, usul Kṛṣṇa ditolak, sehingga perang tidak dapat dicegah lagi.

Para Pāṇḍava mempunyai prinsip-prinsip moral yang paling tinggi, dan mereka mengakui Kṛṣṇa sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan para putera Dhṛtarāṣṭra yang jahat tidak mengakui Kṛṣṇa. Namun, Kṛṣṇa bersedia ikut perang menurut kehendak kedua belah pihak. Kṛṣṇa, Tuhan Yang Maha Esa, tidak bersedia bertempur secara pribadi; tetapi salah satu di antaranya diperbolehkan memanfaatkan tentara Kṛṣṇa—sedangkan pihak lain dapat memanfaatkan tenaga Kṛṣṇa sebagai penasehat dan pendukung. Duryodhana genius di bidang politik. Duryodhana segera meminta tentara Kṛṣṇa, sedangkan para Pāṇḍavapun semangat sekali mendapat bantuan Kṛṣṇa sebagai penasehat.

Dengan cara inilah, Kṛṣṇa menjadi kusir kereta Arjuna. Kṛṣṇa bersedia mengemudikan kereta Arjuna, pemanah yang termasyhur. Sekarang mulailah kisah Bhagavad-gītā, dengan kedua tentara tersusun dan siap bertempur. Dhṛtarāṣṭra cemas, dan dia bertanya kepada Sañjaya, sekretarisnya, "Apa yang dilakukan oleh mereka?"

Demikianlah keadaan pada masa menjelang Bhagavad-gītā disabdakan oleh Śrī Kṛṣṇa kepada Arjuna.

Terjemahan dan penjelasan Bhagavad-gītā Menurut Aslinya dijelaskan sebagai berikut.

Pada umumnya para penterjemah Bhagavad-gītā mengesampingkan Kepribadian Kṛṣṇa dan memasukkan paham-paham dan filsafat-filsafat pribadi dalam terjemahannya. Sejarah Mahābhārata dianggap dongeng atau mitologi, dan Kṛṣṇa dianggap sebagai perantara sanjak untuk menyampaikan gagasan-gagasan seseorang yang tidak dikenal namanya, atau paling jauh Kṛṣṇa hanya dianggap tokoh sejarah yang kurang penting. Tetapi kepribadian Kṛṣṇa adalah tujuan dan hakekat Bhagavad-gītā menurut Bhagavad-gītā sendiri.

Karena itu, terjemahan ini berikut penjelasannya bertujuan untuk mengarahkan pembaca agar mendekati Kṛṣṇa dan tidak menjauhi Kṛṣṇa. Dalam hal ini, Bhagavad-gītā Menurut Aslinya merupakan terjemahan dan penjelasan istimewa. Istimewa pula kenyataannya bahwa dengan cara seperti itu ayat-ayat Bhagavad-gītā semua cocok satu sama lain dan mudah dipahami. Oleh karena Kṛṣṇalah yang bersabda dalam Bhagavad-gītā, dan Kṛṣṇa adalah tujuan utama Bhagavad-gītā, terjemahan inilah yang menyampaikan kesusasteraan yang mulia ini menurut aslinya.


Penerbit